BUTON, arusnusantara.com – Kasus dugaan skandal fee proyek di Kabupaten Buton masih terus mewarnai pemberitaan media cyber di Kota Baubau. Kasus ini menyeret nama mantan PJ. Bupati Buton, La Haruna dan sang istri siri, Naslia Alu.
Carut marut kasus ini mulai melebar, ketika ada dugaan untuk melakukan pembungkaman publik. Pihak-pihak yang mencoba membongkar secara terang kasus ini pun satu per satu mulai dilaporkan kepada pihak berwajib.
Sejumlah jurnalis yang kerap memberitakan skandal fee proyek ini dilaporkan ke Polres Buton atas dugaan pemerasan. Sedangkan aktivis yang beberapa kali menyuarakan hal ini juga turut dilaporkan ke Polres Buton dan Polsek Murhum atas dugaan pencemaran nama baik.
Sebelumnya, Barisan Muda Anti Korupsi Kepulauan Buton telah resmi melaporkan skandal tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Buton pada 15 Mei 2025. Pihak yang dilaporkan adalah La Haruna yang saat ini telah menjabat sebagai Asisten III Provinsi Sultra serta Naslia Alu yang merupakan ketua Komisi III DPRD Kota Baubau dari Partai Hanura.
Laporan tersebut dibenarkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Buton melalui Kasi Intelnya, Norbertus Dhendy Restu Prayoga. “Ya, kami sudah diterima laporan,” kata Norbertus Dhendy Restu Prayoga dikonfirmasi awak media melalui telpon selulernya, Sabtu 25 Mei 2025.
Saat ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari sudah memeriksa kelengkapan berkas dan akan menindaklanjuti laporan ke tahap penyelidikan setelah ada disposisi dari Kajari Buton.
“Sekarang menunggu disposisi dari pak Kajari untuk ditindaklanjuti oleh Pidsus (Tindak Pidana Khusus),” tegasnya.
Dhendy menegaskan, sebelum dilakukan proses penyelidikan, pihaknya terlebih dahulu akan melakukan penelusuran dan penelaahan informasi perkara terhadap laporan berdasarkan disposisi yang diberikan. Penelusuran yang dimaksud adalah apakah perkara tersebut telah ditangani aparat penegak hukum (APH) lain ataukah belum.
Pasalnya, berdasarkan informasi yang diterima Kejari Buton, perkara tersebut telah ditangani oleh Polsek Pasarwajo. Namun sesuai hasil penelusuran, laporan tersebut dilayangkan oleh korban penyetor fee proyek dengan terlapor Yongki dan Langkaaba selaku pengumpul fee proyek. Kasusnya penipuan dan penggelapan.
Sedangkan laporan di Kejari Buton yang dilayangkan Barisan Muda Anti Korupsi Kepulauan Buton melaporkan nama La Haruna dan Naslia Alu. “Berbeda terlapor dengan di Polsek Pasarwajo ya?,” tanya Dhendy.
Ada Upaya Pembungkaman Publik dan Obstruction of Justice
Sekira lima hari setelah dilaporkan oleh Barisan Muda Anti Korupsi Kepulauan Buton, La Haruna dan Naslia Alu melakukan perlawanan. Melalui kuasa hukumnya Samsul SH MH, kedua Pasutri ini memasukkan aduan ke Polres Buton, sebagaimana termuat dalam tanda bukti lapor, Nomor : TBL/PENAGADUAN/V/2025/SPKT/RES BUTON/POLDA Sultra.
Aduan tersebut melaporkan beberapa oknum, baik oknum wartawan menyangkut masalah pemerasan maupun sejumlah aktivis berkait pencemaran nama baik. Itu dibeberkan kuasa hukum La Haruna dan Naslia Alu melalui konferensi persnya.
“Hari ini tanggal 20 Mei pukul 10.55 ada dua laporan kami masukan. Yang pertama itu berkaitan pencemaran nama baik yaitu berkaitan laporan yang dimasukkan ke Kejaksaan terhada Kline kami. Terus yang kedua itu adanya tindak pidana pemerasan dilakukan oleh oknum-oknum wartawan,” beber Samsul kepada awak media dalam konferensi pers.
Nah, berkaitan dengan pelaporan yang dilayangkan oleh La Haruna dan Naslia Alu, ada dugaan upaya pembungkaman terhadap para wartawan dan beberapa aktivis yang aktif menyuarakan dugaan skandal fee proyek ini. Ada beberapa pasal yang mengatur tentang upaya perintangan penyidikan, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 221 KUHP dan Pasal 21 UU Tipikor.
Pasal 221 KUHP mengancam siapa saja yang menyembunyikan pelaku kejahatan atau memberikan pertolongan agar terhindar dari penyidikan atau penahanan. Termasuk juga menghancurkan, menghilangkan, atau menyembunyikan barang bukti untuk menutup kejahatan atau mempersulit penyidikan. Pidananya Paling lama 4 tahun.
Sedangkan Pasal 21 UU Tipikor lebih spesifik mengatur perintangan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dalam kasus korupsi.
Kembali ke kasus pelaporan wartawan dan aktivis di Polres Buton, terkesan merupakan upaya pembungkaman terhadap publik. Beberapa yurisdiksi, ini juga mencakup pelanggaran yang lebih luas dari memutarbalikkan jalannya keadilan.
Terlebih laporan di Polres Buton dilayangkan setelah masuknya laporan dugaaan korupsi di Kejari Buton. Apakah perbutan itu masuk dalam kategori tindak pidana perintangan penyidikan (Obstruction of Justice)?.
“Kita belum kesana, ini kan laporannya baru masuk. Kita belum sampai tahap penyidikan,” beber Kasi Intel Kejari Buton, Nobertus Dhendy Restu Prayoga.
Aksi laporan pencemaran nama baik ini bukan kali pertama. Sebelumnya, Naslia Alu juga melayangkan laporan serupa di Polsek Murhum, Polres Baubau. Dia melaporkan aktivis yang menggelar unjukrasa di kantor DPRD Kota Baubau.
Kasus itu kini sedang bergulir. Penyidik Polsek Murhum telah memeriksa beberapa saksi, termaksud terlapor dan pelapor.
“Kurang lebih lima orang yang sudah kami ambil dan mintai keterangannya,” ujar Kapolsek Murhum, Ipda Haris Eka Putra SH MH.
Berdasarkan pengakuan salah satu pengunjuk rasa, RZ (Inisial) dia sempat mendapat tekanan dan ancaman agar tidak turun menggelar unjuk rasa di DPRD Kota Baubau berkait skandal fee proyek itu. Hanya saja, RZ enggan menyebut oknum yang melakukan pengancaman itu.
“Saya pastikan masuk laporanmu (Pencemaran nama baik) di Polsek Murhum kalau dinda turun aksi,” beber RZ menirukan ancaman yang diterimanya oleh oknum tersebut.
Meski demikian, ancaman itu tidak mengurung niatnya untuk tetap aksi. Alhasil, laporan tersebut dibuktikan oleh oknum yang memberikan ancaman itu. Bahkan, saat pelaporan di Polsek Murhum oleh Naslia Alu, oknum tersebut terlihat hadir. Yang menjadi pertanyaan, apakah kehadiran oknum tersebut merupakan hal yang kebetulan?
Tidak berhenti disitu, beberapa hari setelah laporan di Polsek Murhum masuk, RZ kembali dihubungi oleh oknum tersebut. Pertemuan terjadi di seputar Stadion Betoambari, Kota Baubau. RZ diminta untuk membuat semacam testimoni bahwa apa yang disuarakan pada aksi unjuk rasa di kantor DPRD Kota Baubau tidak benar. Tentu dengan iming-iming uang.
Demikian halnya sejumlah wartawan yang dilaporkan atas tuduhan dugaan pemerasan. Padahal, salah satu wartawan yang ikut dipolisikan oleh La Haruna dan Naslia Alu , YW (Inisial), justru sebaliknya, La Haruna lah yang punya inisiatif dan upaya menyuap para wartawan yang aktiv memberitakan skandal fee proyek.
“Biarkan saja berproses karena apa yang dituduhkan itu tidaklah berdasar. Nanti kita lihat siapa yang ingin membungkam dan menghalangi kebebasan pers,” katanya.
“Bahkan saya diminta La Haruna untuk melakukan mediasi kepada wartawan yang sudah menayangkan pemberitaan terkait dirinya. Itu murni inisiatif La Haruna yang meminta saya untuk dikomunikasikan,” tegas YW.
Komunikasi yang dilakukan YW dengan sejumlah rekan wartawan yang gencar memberitakan, permintaan La Haruna ditolak mentah-mentah. Skandal fee proyek terus mewarnai pemberitaan media cyber. Terlebih perkara dugaan fee proyek tersebut telah dilaporkan oleh para pegiat anti korupsi, ke Kejari Buton.
“Inikan menjebak. La Haruna yang awalnya meminta saya memfasilitasi untuk menghentikan pemberitaan sejumlah media. Namun saat mediasi gagal, malah saya yang dilaporkan pemerasan,” kesalnya.
Selain ada dugaan upaya kriminalisasi dan pembungkaman terhadap wartawan dan aktivis, belakangan Naslia Alu juga memframing dalam media sosialnya bahwa wartawan yang memberitakan Skandal Fee Proyek hanya untuk melakukan pemerasan.
Bahkan sang legislator dalam live tiktoknya tidak segan mengeluarkan kata-kata ancaman dan premanisme. Apakah ini juga salah satu upaya dalam membungkam publik dan kemerdekaan pers?
Diketahui, perkara ini bermula adanya laporan pengaduan di Polsek Pasarwajo, terkait dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan Yongki dan Langkaaba.
Kronologis, sejumlah kontraktor mengaku telah menyetorkan uang ke Yongki dan Langkaaba dengan jaminan akan diberi pekerjaan (proyek). Uang yang terkumpul dari kurang lebih 20 orang kontraktor sekira Rp2 milyar lebih dikumpul oleh Yongki.
Modus yang dilakukan, ada arahan dari Yongki bahwa setiap dana yang ditransfer oleh para kontraktor ke rekening pribadi milik Yongki diberikan catatan “Pinjaman Modal Usaha”. Hal ini diduga untuk mengelabui jika terjadi persoalan hukum kedepannya.
Peran Yongki sebagai bendahara mengaku bahwa apa yang dilakukan atas arahan La Haruna selaku PJ Bupati Buton periode 2024-2025. Namun, hingga berakhir masa jabatan, proyek yang dijanjikan tidak ada. Hanya sekitar 10 persen kontraktor yang mendapatkan pekerjaan.
Bahkan Yongki juga telah mengaku, uang tersebut sebagian mengalir ke istrinya, Naslia Alu. Semua ada bukti transaksi, baik yang diduga mengalir ke La Haruna dan Naslia Alu telah diserahkan ke penegak hukum.
Diperkuat pengakuan dari salah satu korban J bahwa telah mentransfer uang dua kali ke rekening nama Yongki Rp180 juta. Masing-masing Rp90 juta tanggal 3 dan 4 Agustus 2024.
Dalam pembicaraannya dengan Yongki, diberikan jaminan jangka waktu 1 bulan sejak uang diterima. Jika, pekerjaan yang dimaksud tidak ada, maka uang tersebut dikembalikan. Anehnya, uang sejumlah kontraktor belum juga dikembalikan hingga proses hukum berjalan. (Adm)