Oleh: La Suci, SH
Penulis adalah Pengamat Hukum Kepemiluan
Persyaratan pengajuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 merupakan ambang batas pencalonan yang wajib dipenuhi Partai Politik atau gabungan Partai Politik agar dapat mendaftarkan pasangan calon di Komisi Pemilihan Umum provinsi, kabupaten dan kota.
Ketentuan demikian hanya mengatur dan menegaskan syarat pencalonan batas bawah dan tidak membatasi syarat pencalonan batas atas. Akibatnya, peluang terjadinya calon tunggal sangat terbuka bilamana tidak terdapat calon perseorangan.
Pada penyelenggaraan Pilkada beberapa tahun sebelumnya di beberapa daerah, calon tunggal “dipaksa” berkompetisi dengan Kotak Kosong memperebutkan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Fenomena ini terasa menggelikan dan tidak kompatibel dengan gagasan kedaulatan rakyat yang menghendaki pemilihan umum sebagai sarana memilih pemimpin atau orang bukan benda mati alias kotak kosong.
Untuk menghindari peristiwa serupa terulang kembali, seharusnya pengawasan Bawaslu dapat menjangkau sampai pada tahap pengajuan pasangan calon oleh Partai Politik agar tidak diborong oleh satu pasangan calon saja sehingga tercipta kompetisi antar pasangan calon bukan dengan kotak kosong.

Antisipasi Calon Tanggal
Tersedianya ruang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari unsur perseorangan dapat dimaknai sebagai salah satu siasat mengantisipasi calon tunggal dalam Pilkada. Dengan kata lain, kontestasi elektoral dalam Pilkada bukan lagi domain istimewa dari Partai Politik melainkan kontestasi nya telah bersifat terbuka bagi perseorangan yang berhajat menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Tentu hal ini membawa implikasi positif bagi peningkatan kualitas demokrasi di aras lokal. Namun demikian, persyaratan calon perseorangan yang terbilang sulit, berefek pada minat seseorang memanfaatkannya. Akhirnya, calon tunggal yang diusung Partai Politik dan koalisinya muncul dalam Pilkada.
Sementara calon lainnya tidak dapat mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada dikarenakan syarat yang dibutuhkan tidak dipenuhi.
Pilkada yang menyajikan calon tunggal dianggap demokratis di satu sisi, tetapi di sisi lain kontra demokrasi. Divergensi ini kemudian menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan ke Partai Politik. Sejatinya Partai Politik tidak berbaris rapi menyatakan dukungannya pada satu pasangan calon agar terlaksana kontestasi demokrasi yang kompetitif.
Kendati calon tunggal memenuhi kriteria demokrasi yang juga ikut diamini oleh Partai Politik namun seharusnya Partai Politik mencegahnya dengan cara mengusung pasangan calon lainnya. Suatu gejala yang ironis manakala Partai Politik secara bergerombol mendukung satu pasangan calon saja.
Ketiadaan ketentuan dalam UU Pilkada yang melarang Partai Politik mendukung satu pasangan calon merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mempunyai kemampuan finansial besar.
Partai Politik dapat dilamar dengan mudah untuk mendukungnya, apalagi ditunjang dengan elektabilitas yang cukup tinggi. Dengan begitu diperlukan antisipasi dari penyelenggara Pemilu supaya Pilkada tidak terselenggara dengan satu pasangan calon saja.
Akan tetapi, Bawaslu sebagai institusi pengawas tidak diperkenankan memasuki wilayah privat Partai Politik untuk mencegah Partai Politik yang memperoleh kursi maupun yang tidak memperoleh kursi di DPRD mencalonkan pasangan calon tertentu saja atau tunggal. Hambatan normatif ini perlu dipikirkan jalan keluarnya agar wewenang Bawaslu diperluas lagi dalam peraturan perundang-undangan. Tujuannya, mencegah pelaksanaan Pilkada bermenu tunggal.
Perluasan Wewenang Bawaslu
Perluasan atau penambahan wewenang Bawaslu dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat melakukan pengawasan pada tahap pengusungan pasangan calon dari Partai Politik sangat urgen dan signifikan. Perluasan wewenang demikian tidak berdampak pada pembatasan hak Partai Politik mendukung pasangan calon dalam Pilkada.
Partai Politik tetap diberikan keleluasaan menentukan siapa yang dipinangnya atau meminangnya untuk ditetapkan dalam keputusan Partai Politik. Namun, jika Partai Politik atau gabungan Partai Politik telah memenuhi ketentuan ambang batas pencalonan, tidak diperbolehkan lagi menambah dukungan Partai Politik lain untuk diajak berkoalisi.
Adanya kewenangan Bawaslu mengawasi proses pencalonan oleh Partai Politik dapat pula menciptakan kompetisi diantara Partai Politik itu sendiri. Sebab, Partai Politik dapat sedini mungkin merancang koalisinya jika perolehan kursi/suara Partai Politik tidak mencapai ketentuan 20% kursi DPRD atau 25% suara dalam Pemilu. Demikian juga dengan para calon yang berkeinginan menggunakan Partai Politik sebagai kendaraannya dalam Pilkada, akan memulai mengkalkulasi peluangnya melamar Partai Politik.
Penambahan wewenang Bawaslu tidak dimaksudkan mengekang kebebasan Partai Politik tetapi dimaksudkan sebagai upaya pencegahan calon tunggal. Upaya ini linear dengan makna pengawasan yang menghendaki hasil pengawasannya sesuai dengan tujuan Pilkada itu sendiri, yakni tersaji nya pertandingan antar kandidat bukan antar kandidat dengan kotak kosong.
Jadi, hakikat pengawasan yang dijalankan Bawaslu bukan sekadar tindakan pada fase pra-Pilkada dan pasca-Pilkada tetapi merambah sampai pada tahap Partai Politik mendeklarasikan secara resmi pasangan calonnya.
Konsensus Bersama
Partai Politik sekalipun menginginkan terselenggaranya pesta demokrasi berlangsung antar kandidat dalam Pilkada. Maka untuk itu, Partai Politik perlu mewujudkannya secara nyata dengan mendesain model pencalonan untuk menutup potensi terjadinya calon tunggal.
Karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur wewenang Bawaslu mengawasi proses penetapan pasangan calon dari Partai Politik maka langkah melahirkan konsesus bersama antara Partai Politik dengan Bawaslu menjadi pilihan rasional sembari mengusulkan kepada Presiden dan DPRsupaya menambah wewenang Bawaslu dalam UU Pilkada.
Konsesus bersama yang dituangkan secara tertulis menjadi pijakan dan pegangan setiap pihak termasuk para kandidat yang berhasrat menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Konsesus yang dilahirkan tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena disepakati secara bersama-sama untuk mengisi ketiadaan ketentuan yang diberikan kepada Bawaslu.
Dengan adanya konsesus bersama tersebut maka Bawaslu dapat melakukan pengawasan kepada Partai Politik dalam mengusung pasangan calon berdasar ketentuan yang dituliskan dalam piagam kesepakatan bersama.
Partai Politik pun merasa terikat secara moral dan kecil kemungkinannya untuk mengabaikannya. Kontestasi Pilkada akan terhidar dari kotak kosong sebagai rival karena masing-masing Partai Politik mematuhi konsesus yang telah diteken bersama.
Gagasan melalui pembentukan konsesus bersama dapat dilakukan sepanjang Partai Politik bersikap konsisten terhadap demokrasi. Tanpa diiringi dengan sikap yang konsisten tentu sukar pula mengharapkan sajian menu demokrasi yang bervarian dalam Pilkada.
Selain itu pula, konsesus bersama antara Partai Politik dan Bawaslu musti disokong total masyarakat sehingga Partai Politik merasakan getaran kebersamaan dalam memelihara dan merawat demokrasi di level daerah.
Tak dapat dipungkiri, dengan adanya konsesus bersama ini akan merangsang hasrat pemilih untuk menyalurkan hak pilihnya dalam Pilkada sehingga menggenjot angka partisipasi pemilih. Meningkatnya prosentase partisipasi pemilih ikut mendorong peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia.
Dengan demikian, persyaratan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bertitik berat pada ambang batas bawah, yang berpotensi timbulnya calon tunggal bilamana tidak terdapat pasangan calon perseorangan dapat diatasi dengan melahirkan konsesus bersama antara Partai Politik dan Bawaslu.
Kesepakatan yang tertera dalam piagam konsesus bersama menjadi landasan Bawaslu melaksanakan pengawasan pada tahap pendaftaran pasangan calon di KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. (Adm)