PENULIS: DENI DJOHAN
Kerajaan atau Kesultanan Buton adalah satu dari puluhan kerajaan dan Kesultanan yang tersebar di Nusantara. Kesultanan yang berpusat di lepas pantai Pulau Sulawesi ini eksis selama lebih dari 600 tahun. Enam Raja dan 38 Sultan tercatat pernah memimpin di pulau penghasil aspal terbesar di dunia itu.
Terdapat banyak keunikan dari kerajaan yang mulanya dipimpin seorang wanita bernama Wa Kaaka itu. Namun yang paling menarik adalah sistem pemerintahan yang diterapkan Buton.
Diketahui, pengalihan sistem pemerintahan Kerajaan ke Kesultanan terjadi pada masa pemerintahan Raja Murhum dengan gelar Sultan Kaimuddin. Murhum adalah raja ke enam sekaligus Sultan pertama. Kemudian dilanjutkan oleh, La Tumparasi sebagai Sultan Ke-2 dan La Sangaji Sultan Ke-3.
Tak ada perubahan signifkan terhadap sistem pemerintahan Kesultanan Buton dimasa kepemimpinan di atas. Tak terkecuali La Sangaji yang berhasil membangun benteng pertahanan seluas hampir 3 hektar. Saat ini, karya Sultan ke-3 itu mendapat pengakuan dari Guiness World Records sebagai benteng terluas di dunia.
Pada masa pemerintahan Sultan Ke-4, La Elangi atau Dayanu Iksanuddin sistem pemerintahan kesultanan mulai ditata rapi. La Elangi membagi wilayah kekuasaan para bangsawan Buton dalam pemerintahan menurut kelompoknya masing-masing. Kelompok tersebut adalah, Walaka (ayah/bapak), Kaomu (anak) dan Papara (rakyat).
Walaka bertugas mengangkat dan memberhentikan Sultan. Sultan diambil dari bangsawan Kaomu. Pada posisi itu, hanya bangsawan Kaomu saja yang memiliki kewenangan untuk menjadi Sultan.
Dalam bangsawan Kaomu, terdapat 3 kelompok besar yang pada era demokrasi saat ini disebut partai politik. Ketiga kelompok tersebut adalah, Kombewaha, Tapi-tapi dan Tanayilandu. Mereka terpadat dengan sebutan, Kamboru-mboru Talu Palena.
Para calon Sultan di Buton diusung dari kelompok ini untuk dipilih kemudian dilantik oleh bangsawan Walaka. Dalam pemerintahan Kesultanan Buton, Bangsawan Walaka yang diberi kewenangan melantik dan memberhentikan Sultan adalah Sio Limbona.
Sio Limbona atau 9 kampung adalah instrumen Pemerintahan dari perwakilan masing-masing kampung atau distrik. Dalam komposisinya, Sio Limbona berjumlah 9 orang. Di era demokrasi saat ini, Sio Limbona disebut Legislatif. Sementara Kaomu dikenal dengan istilah, Eksekutif.
Sejak dulu, masyarakat Buton sudah akrab dengan demokrasi. Bahkan jauh sebelum Montes quieu mengeluarkan teori pembagian wilayah kekuasaan dalam pemerintahan atau yang lebih dikenal dengan konsep Trias Politica, 200 tahun sebelumnya Buton telah menerapkannya.
Tak hanya itu, jauh sebelum bangsa ini lahir, mekanisme pengusungan Calon Presiden melalui kendaraan partai politik juga sudah diterapkan. Bedanya, tak ada ketua dalam kelompok partai di Buton. Mereka dalam pengawasan penuh kelompok Walaka.
Perbedaan lain adalah tak ada praktik money politik atau Penghasutan masif yang dapat menimbulkan perpecahan ditengah masyarakat dan pemerintah ketika pesta demokrasi di Buton tiba. Disisi lain, Undang-undang Pemerintahan yang berlandas Islam atau dikenal dengan, Murtabat Tujuh, juga tegas bakal menindak para pelaku yang mencoba melakukan kegaduhan.